Selasa, 18 Mei 2010

Remunerasi PNS Wajib Dilanjutkan!

Kasus Gayus yang terungkap selain telah membukakan mata kita bahwa makelar kasus  benar-benar ada, juga mengingatkan pada kita bahwa reformasi birokrasi masih menyisakan persoalan. Reformasi birokrasi yang salah satu perwujudannya adalah pemberian remunerasi belum berhasil menyeterilkan birokrat dari perilaku yang koruptif.  Seorang Gayus, pegawai Dirjen Pajak golongan IIIa, dengan gaji sekitar Rp12 juta per bulan (setelah remunerasi) masih leluasa “bermain”  sehingga merugikan keuangan negara miliaran rupiah. Tentu saja Gayus tidak sendiri, disana ada atasan serta rekan-rekannya yang berkomplot. Ini yang kemudian membuat masyarakat bertanya-tanya, sudah efektifkah kebijakan pemberian remunerasi dalam meredam  korupsi? Dan benarkah pemberian rumenerasi sudah selayaknya dihentikan?

Tak bisa dipungkiri bahwa penghasilan pegawai yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong seorang pegawai melakukan korupsi. Apalagi bagi pegawai instansi yang banyak bersentuhan dengan kegiatan pelayanan ataupun penegakan hukum.  Di situ timbul kerawanan terjadinya moral hazard.  Ingat bahwa korupsi merupakan pertemuan antara niat dan kesempatan. Niat untuk korupsi dapat timbul dari gaji yang pas-pasan. Niat tersebut dapat direalisasikan jika terdapat kesempatan atau peluang untuk itu. Peluang itu biasanya tercipta karena kelemahan sistem pengendalian ataukelemahan dari peraturan yang ada ataupun dari sifat dari pekerjaannya sebagai contoh pekerjaan penegakan hukum dsb.

Oleh karena itu tidak salah jika pemerintah mencanangkan pemberian remunerasi sebagai salah satu aspek/bagian dari reformasi birokrasi yang tujuannya adalah mencegah terjadinya korupsi. Saat ini, Selain Departemen Keuangan renumerasi  telah diberikan kepada beberapa instansi pemerintah, seperti Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa keuangan. Rencananya remunerasi akan segera direalisasikan untuk 12 kementerian/lembaga lainnya yaitu Kemenko Perekonomian, Bappenas, BPKP, Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, TNI, Polri, Kejaksaan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN). Pada saatnya nanti remunerasi akan diterapkan di semua instansi secara nasional. Tentu tidak serta merta instansi tersebut mendapatkan remunerasi karena terdapat persyaratan tertentu seperti adanya job description yang jelas dan sistem pengukuran kinerja pegawai yang baik. Setelah instansi yang bersangkutan memenuhi persyaratan tersebut  remunerasi baru dapat diberikan. Ada proses evaluasinya untuk itu.

Sulit dibantah bahwa pemberian remunerasi dapat meningkatkan kinerja seseorang. Ketika ditanya dalam wawancara di Majalah Tempo Edisi 10-16 Mei 2010, apakah pegawai Kementrian Keuangan sekarang (setelah remunerasi) lebih jujur, Sri Mulyani Indrawati menjawab  “Sekarang idealisme itu muncul. Mereka lebih bersemangat. Ada yang berubah karena tobat. Ada juga karena sudah kenyang korupsi dimasa lalu. Ada yang kepingin baik karena Indonesia harus lebih baik. Apapun alasannya anak buah saya yang seperti itu sekarang banyak”.  Ini menunjukkan bahwa remunerasi telah berhasil merubah banyak cara berpikir pegawai dari mencari peluang untuk korupsi karena gaji kurang atau pas-pasan menjadi berorientasi ke pencapaian kinerja. Penulis yakin bahwa hal tersebut juga terjadi di instansi lain yang sudah menerapkan remunerasi, seperti Mahkamah Agung maupun BPK RI.

Memang agar reformasi birokrasi dapat mencegah korupsi, pemberian remunerasi perlu dibarengi dengan perbaikan aspek lainnya dalam reformasi birokrasi seperti rekruitmen, sistem kerja, penempatan staf, monitoring dan juga punishment bagi yang masih indispiner.  Reformasi menyangkut semua aspek ini akan cukup efektif mencegah perilaku korupsi.  Jadi remunerasi harus tetap dilanjutkan. Jangan karena kasus Gayus, seluruh sistem yang dihukum !!

Jumat, 14 Mei 2010

Bagaimana Nasib Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan Selanjutnya?

Hiruk pikuk politisasi persoalan Bank Century membuahkan “terpentalnya”  Sri Mulyani Indrawati, seorang yang dinobatkan sebagai wanita berpengaruh ke-23 versi majalah Forbes tahun 2008, dari kursi Menteri Keuangan. Cara ini dianggap merupakan “deal politik” yang dapat memperbaiki hubungan eksekutif dan legislatif, tepatnya diantara partai koalisi, setelah proses panjang pertikaian diantara keduanya dalam persoalan Bank Century, meskipun permasalahan Bank Century belum dapat dikatakan telah selesai.

Namun terlepas dari itu semua, mundurnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan untuk menempati jabatan sebagai salah satu direktur pelaksanan Bank Dunia, menimbulkan kebanggaan tersendiri karena belum tentu dalam satu generasi ada orang Indonesia yang menduduki posisi tersebut. Sri Mulyani Indrawati menjadi salah satu  perempuan Indonesia yang kiprahnya diakui luas di dunia internasional. Kinerjanya, reputasinya dan kemampuannya patut diacungi jempol.

Saat menduduki jabatan Menteri Keuangan gebrakannya mereformasi Departemen Keuangan berhasil membuat ciut “tikus-tikus” penggangsir uang negara. Sudah dianggap hal yang biasa dan lumrah jika terdapat pejabat dan petugas pajak,  bea cukai , dan beberapa direktorat dibawah Departemen Keuangan, mempunyai harta melimpah. Sering tidak masuk akal jumlah kekayaan mereka jika dibandingkan dengan gaji tiap bulannya. Ini menunjukkan betapa akutnya “tikus-tikus” tersebut merasuki birokrasi di departemen tersebut. Dan reformasi yang digulirkan Sri Mulyani Indrawati menjadikan ruang gerak “tikus-tikus” ini menjadi semakin sempit. Memang  belum steril benar, karena ternyata masih ada “Gayus dan kawan-kawannya” yang masih bisa survive, namun secara umum sudah sangat berubah, dan jauh lebih baik.

Nah, pertanyaannya apakah kondisi yang berangsur baik tersebut akan menjadi semakin baik atau akan kembali ke kondisi semula sebelum reformasi birokrasi digulirkan. Tentu saja ini kembali ke “will” dari pemerintah. Jika pemerintah ingin agar perekonomian bebas dari ekonomi biaya tinggi, kondusif bagi investor untuk berinvestasi, dan birokrasi yang profesional,  tentunya pemerintah akan memilih Menteri Keuangan yang baru dengan orang yang berkompetensi dan berintegritas tinggi serta mempunyai leadership yang baik. Untuk itu pemerintah harus mencarinya di kalangan profesional dan atau akademisi. Jika pemerintah menginginkan sebaliknya, silahkan pemerintah mengambil dari kalangan politikus.

Sabtu, 31 Januari 2009

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dari Transparency International Indonesia

Berikut ini saya tampilkan Siaran Pers Transparency International Indonesia mengenai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia yang dirilis pada Rabu, 21 Januari 2009 sebagai tambahan informasi bagi para pembaca blog saya: 

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia

Dalam usaha memerangi korupsi, dibutuhkan suatu strategi nasional yang didukung oleh data dan informasi yang cukup dapat diandalkan, sehingga penerapan langkah-langkah pencegahan ataupun penindakan dapat diambil secara terukur dan tepat sasaran. Survei pengukuran korupsi seperti yang dilaksanakan Transparency International (TI) Indonesia adalah salah satu cara untuk mendapatkan referensi data tersebut. 


Survei Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang dilakukan pada September sampai dengan Desember 2008, bertujuan untuk mengukur tingkat korupsi pemerintah daerah berdasarkan persepsi pelaku bisnis setempat. Survei ini juga mengukur tingkat kecenderungan terjadinya suap di 15 institusi publik di Indonesia, yang ditampilkan dalam Indeks Suap. Total sampel dari survei ini adalah 3841 responden, yang berasal dari pelaku bisnis (2371 responden), tokoh masyarakat (396 responden), dan pejabat publik (1074).


Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, seperti pada tahun 2004 dan 2006, merupakan hasil analisa data dari responden pelaku bisnis, mengenai persepsi mereka tentang lazim atau tidak lazimnya pejabat pemerintah daerahnya melakukan tindakan korupsi, dan bagaimana usaha pemda dalam memberantas korupsi. Sementara itu, Indeks Suap menggambarkan tingkat kecenderungan terjadinya suap di 15 institusi publik di Indonesia, berdasarkan pengalaman kontak antara pelaku bisnis dengan institusi terkait. Indeks Suap juga memberikan rata-rata jumlah uang yang dipakai dalam setiap transaksi.

Yogyakarta Kota Terbersih, Kupang Terkorup

Dari 50 kota yang disurvei dalam IPK Indonesia 2008, Yogyakarta mendapatkan skor tertinggi yaitu 6,43. Nilai tersebut dapat dibaca bahwa pelaku bisnis di Yogyakarta menilai pemerintah daerah cukup bersih, dan cukup serius dalam usahanya memberantas korupsi. Interpretasi ini dapat menggambarkan hal yang sama di kota-kota yang berada di urutan teratas kota dengan skor tertinggi, seperti Palangkaraya (6,1), Banda Aceh (5,87), Jambi (5,57), dan Mataram (5,41).

Terpilihnya Yogyakarta sebagai kota terbersih dimungkinkan mengingat sejak 2006 dibentuk Dinas Perizinan yang merupakan pengembangan dari Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Belum lama ini, Pemerintah Kota Yogyakarta bahkan mendapat penghargaan Citra Pelayanan Prima 2008. Hal itu terkait dengan keberhasilannya dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Begitu juga kota-kota lainnya yang terbersih. Palangkaraya pernah mendapat penghargaan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Terbaik pada 18 Desember 2007 lalu.


Sementara itu, Kupang mendapatkan skor terendah (2,97), disusul Tegal (3,32), Manokwari (3,39), Kendari (3,43), dan Purwokerto (3,54). Ini menunjukkan bahwa di kota-kota ini, pelaku bisnis melihat bahwa korupsi masih sangat lazim terjadi di jajaran pemerintah daerah, dan pemda juga tidak serius dalam usaha mereka memberantas korupsi. Skor terendah dicapai Kupang, karena pada tahun-tahun sebelumnya di kota ini banyak terjadi kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan anggota DPRD setempat. 


Secara umum, dapat dlihat bahwa sebagian besar kota di Indonesia pemerintah daerahnya dipersepsikan korup, melihat bahwa hanya Yogyakarta dan Palangkaraya kota yang mendapatkan skor diatas 6. Namun skor IPK Indonesia memang masih lebih baik dibanding Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi) untuk Indonesia, yang pada tahun 2008 skornya adalah 2,6. 


Polisi lembaga yang paling rentan suap

Dalam Indeks Suap, pengukuran dilakukan dengan menghitung rasio kontak antara pelaku bisnis dan institusi publik yang terjadi suap, dibanding total kontak yang terjadi. Indeks Suap polisi mencapai 48%, yang berarti dari total interaksi antara responden pelaku bisnis dengan institusi tersebut (n=1218), hampir setengahnya terjadi suap. Hasil ini masih relevan dengan hasil Global Corruption Barometer (GCB) yang dikeluarkan Transparency International pada tahun akhir 2007 lalu. Menyusul polisi, bea cukai (41%), imigrasi (34%), DLLAJR (33%) dan pemda (33%) adalah lembaga-lembaga yang berada pada urutan paling tinggi kecenderungan terjadi suap.


Peran Survei Pengukuran Korupsi 
IPK Indonesia bisa digunakan menjadi masukan berarti bagi pemerintah daerah yang disurvei untuk introspeksi dan berbenah diri (terutama untuk kota-kota yang skornya rendah). Demikian juga Indeks Suap, yang dapat menjadi acuan bagi institusi yang dinilai rentan terhadap praktik suap untuk memperbaiki performanya. 

Jakarta, 21 Januari 2009
Transparency International Indonesia

Rezki Sri Wibowo
Deputi Sekretaris Jenderal

Minggu, 07 Desember 2008

Penjualan Mobil Dinas Operasional yang "Ngawur"

Pada suatu hari seorang (sebut Mr.X) yang bekerja sebagai pegawai negeri pada suatu pemerintah daerah, dengan bangga menceritakan “keberuntungannya” dapat membeli mobil dinas operasional kantornya. Bayangkan sebuah mobil Toyota Kijang KF 42 tahun 1995, yang harga pasarnya pada waktu itu sekitar Rp33,5 juta dibelinya dengan harga Cuma Rp900an ribu saja. Kok bisa ya? Padahal mobilnya masih relatif bagus lho..

Karena “kebetulan” unit kerja Mr.X di Bagian Perlengkapan dan menjadi anggota tim penjualan kendaraan dinas, dia dapat menjelaskan ketika ditanya bagaimana rumusan penentuan harganya, yaitu “harga jual = % uji fisik x (20% atau 40%) sesuai umur kendaraan x harga pasar yang berlaku. Lho... kok bisa?!.

Lalu aturan yang sebenarnya bagaimana sih?

Harus Lelang

Menurut Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Permendagri No.7 tahun 2007, kendaraan dinas yang dapat dijual adalah kendaraan perorangan dinas dan kendaraan dinas operasional.

Kendaraan Perorangan Dinas adalah Kendaraan Perorangan Dinas yang dipergunakan pejabat negara seperti Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta yang sudah dipergunakan selama 5 (lima) tahun atau lebih. Kendaraan dinas perorangan ini dapat dijual kepada pejabat negara yang menggunakan kendaraan tersebut, dengan penentuan harga sesuai ketentuan yaitu (a) kendaraan yang berumur 5 sampai dengan 7 tahun, harga jualnya 40% dari harga umum/pasaran yang berlaku; (b) kendaraan yang telah berumur 8 tahun atau lebih, harga jualnya 20% dari harga umum/pasaran yang berlaku. Selain itu ditentukan bahwa semua pengeluaran untuk perbaikan kendaraan yang akan dibeli, yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum adanya persetujuan penjualan, menjadi tanggungan pejabat pembeli dan harus dibayar secara tunai sebelum dilakukan pembelian tersebut.

Sedang, Kendaraan Dinas Operasional adalah kendaraan operasional kantor selain yang digunakan oleh pejabat negara. Ketentuan umur penggunaan kendaraan operasional yang akan dijual ditetapkan Kepala Daerah masing-masing dan pelaksanaan penjualannya melalui pelelangan umum atau lelang terbatas yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.

Merugikan keuangan negara/daerah

Dengan demikian, pada kasus diatas penjualan kendaraan dinas tersebut diatas menyimpang dari ketentuan. Pertama, penjualannya tidak melalui mekanisme lelang. Kedua penetapan harga jual kendaraan dinas menghasilkan harga yang jauh dibawah nilai wajarnya yaitu: Harga jual = % uji fisik x (20% atau 40%) sesuai umur kendaraan x harga pasar yang berlaku. Penambahan “% uji fisik” menjadikan jumlah persentase yang dipakai sebagai pengali harga pasar yang berlaku semakin kecil sehingga menghasilkan harga jual yang semakin kecil pula. Dengan demikian menguntungkan pembeli tetapi merugikan keuangan negara/daerah.

Jika mobil dinas yang dijual jumlahnya puluhan, berapa kerugian daerah yang dialami pemda yang “ngawur” itu ya?!..

 

Jumat, 14 November 2008

Lahan Baru Bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) (2)

Penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK meliputi dua hal yaitu penggunaan pemeriksa ditetapkan oleh BPK dan penggunaan pemeriksa ditetapkan oleh pihak selain BPK apabila diatur dalam ketentuan undang-undang, sebagai contoh penetapan KAP oleh Rapat Umum Pemegang Saham untuk BUMN yang berbentuk PT.

Jenis pemeriksaan yang dilaksanakan oleh pemeriksa dan/atau tenaga lain diluar BPK yang penggunaannya ditetapkan oleh BPK terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Sedangkan jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh pihak lain selain BPK adalah pemeriksaan keuangan.

Persyaratan

Untuk dapat melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara, pemeriksa dan/tenaga ahli harus memenuhi persyaratan tertentu yaitu (a) bagi pemeriksa dari lingkungan aparat pengawas intern pemerintah, harus memperoleh ijin atau persetujuan tertulis dari pimpinan instansi yang bersangkutan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh BPK; (b) bagi akuntan publik, harus bekerja pada KAP yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan terdaftar di BPK; (c) bagi tenaga ahli, harus memiliki keahlian dan persyaratan yang ditentukan oleh BPK.

Hak dan Kewajiban

Pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara berkewajiban untuk melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan Standar Pemeriksaan; mematuhi kode etik; dan mematuhi perundang-undangan yang menjadi dasar penugasannya.

Selain itu, pemeriksa dan/atau tenaga ahli yang penggunaannya (penugasannya) ditetapkan oleh BPK wajib menyampaikan seluruh hasil pemeriksaannya kepada BPK untuk direviu dan sepenuhnya menjadi hak milik BPK. Sedang akuntan publik yang ditunjuk berdasarkan ketentuan undang-undang wajib menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada BPK untuk dievaluasi dan dipublikasikan.

Bagaimana dengan hak-haknya? Pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara berhak memperoleh imbalan dan/atau penghargaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Imbalan tersebut dapat dibebankan pada anggaran belanja BPK dan/atau entitas yang diperiksa. Sedang penghargaannya dapat diberikan oleh BPK dan/atau presiden atas usul BPK yang ditetapkan dengan Keputusan BPK.

Menggusur auditor BPK?

Tentu saja jawabannya tidak samasekali. Kontrol penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli sepenuhnya ada ditangan BPK, kecuali untuk penunjukkan pemeriksa dan/atau tenaga ahli berdasarkan ketentuan undang-undang. Penentuan penggunaan pemeriksa diluar BPK tersebut dilakukan setelah BPK memperhitungkan jumlah auditor BPK sendiri dalam memeriksa keuangan negara. Setelah itu kekurangan tenaga pemeriksa yang ada dipenuhi dari luar BPK.

Selain itu untuk pemeriksaan pada BUMN, BPK akan menentukan terlebih dahulu BUMN yang akan diperiksa oleh BPK dengan memperhatikan ketentuan undang-undang, setelah itu BUMN diluar daftar yang akan diperiksa oleh BPK, akan diperiksa oleh KAP.

Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru diharapkan dengan penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli diluar BPK, maka akan terjadi sinergi sehingga hasil dan cakupan pemeriksaan keuangan negara akan menjadi lebih optimal dan tata kelola keuangan negara yang bersih, transparan dan akuntabel akan segera terwujud.

 

Senin, 10 November 2008

Lahan Baru Bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) (1)

Mulai sekarang KAP barangkali boleh merasa lega, lahan bisnisnya bertambah. Kalau sebelumnya KAP lebih banyak memeriksa laporan keuangan entitas bisnis, sebentar lagi sudah dapat memeriksa laporan keuangan entitas pemerintah. Hal ini dimungkinkan karena baru-baru ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan Peraturan BPK No.1 tahun 2008 tanggal 6 Maret 2008 tentang Penggunaan Pemeriksa Dan/Atau Tenaga Ahli Dari Luar Badan Pemeriksa Keuangan Daerah. Kemudian disusul dengan dua surat keputusan yaitu Keputusan BPK RI No.10/K/I-XIII.2/7/2008 tentang Persyaratan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang Melakukan Pemeriksaan Keuangan Negara, dan Keputusan BPK RI No.11/K/I-XIII.2/7/2008 tentang Petunjuk Teknis Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Pemeriksaan Akuntan Publik atas Laporan Keuangan.

Sosialisasi ketiga peraturan tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 3 dan 5 November 2008, bertempat di Gedung Pusdiklat BPK RI di Kalibata, Jakara dengan dihadiri oleh pejabat pemda, BUMN/BUMD, KAP serta pejabat dilingkungan BPK RI.

Latar Belakang

Jumlah objek pemeriksaan (obrik) atau entitas yang diperiksa oleh BPK memang cukup banyak dibanding jumlah auditor yang tersedia. Sejak otonomi daerah dicanangkan, jumlah pemerintah daerah bertambah menjadi 33 propinsi dan 434 Kabupaten/Kota. Belum lagi kalau ditambah dengan BUMN dan BUMD yang merupakan aset yang pengelolaannya dipisahkan dari aset yang langsung dikelola pemerintah.

Dengan jumlah obrik yang demikian itu wajar jika dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK menggunakan KAP yang bekerja untuk dan atas nama BPK.

Adapun dasar hukum penggunaan KAP dalam pelaksanaan tugas BPK adalah pasal 9 ayat (3) UU No.15 tahun 2004, dan pasal 9 ayat (1) huruf g UU No.15 tahun 2004, yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pemeriksaan BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK.

...bersambung

Selasa, 04 November 2008

Lagi-lagi Kejaksaan Tercoreng

Belum lama kasus jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) selesai proses pengadilannya, dengan vonis 20 tahun untuk UTG dan 5 tahun untuk Arthalyta, muncul berita yang mencoreng nama Kejaksaan dari Kab Boalemo,  Gorontalo. Berita tersebut berupa rekaman percakapan telepon antara Kajari Tilamuta, Ratmadi Saptondo, SH (RS)dengan salah satu staff Dinas Pekerjaan Umum (PU). Dalam rekaman percakapan yang telah diperdengarkan berulang-ulang di beberapa station TV Swasta tersebut, terdengar suara RS lagi marah-marah karena tidak mendapatkan "jatah" sesuai dengan yang diinginkannya. Bukan hanya itu, RS juga sempat mengatakan hal-hal yang menyinggung institusi Kepolisian.

Apa yang telah ditunjukkan oleh RS tersebut dengan meminta uang dengan cara menakut-nakuti (memeras), merupakan suatu praktek yang selama ini disinyalir ada namun sulit untuk dibuktikan. Ini seperti (maaf) bau kentut yang tidak kelihatan tetapi bau busuknya menusuk hidung, dan sulit untuk membuktikan siapa yang kurang ajar mengeluarkan gas busuk diantara keramaian banyak orang. Parahnya, praktek semacam itu di Kejaksaan, seperti yang telah dipercaya banyak orang (termasuk saya), bak fenomena gunung es. Yang tidak kelihatan atau tepatnya belum terungkap, jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Jaksa yang berintegritas tinggi sudah menjadi minoritas dan barang langka.

Entah sudah separah apa ketidakadilan yang telah ditimbulkan oleh ulah jaksa-jaksa busuk, tidak ada seorangpun yang dapat mengukur, karena hal itu menyangkut hati dan nurani. Rasa ketidakadilan yang tertindas karena proses penuntutan yang substandard, akibat jaksa sudah "terkena rupiah"  sehingga keputusan hakim di pengadilanpun tidak didasarkan bukti yang maksimal, tidak bisa diukur secara kuantitatif. Yang pasti adalah keadilan sudah teraniaya.

Pertanyaan selanjutnya adalah mau diapakan oknum-oknum seperti itu? Kalau mau jujur sih menurut saya musnahkan..atau  basmi saja oknum-oknum busuk itu. Kejaksaan tidak perlu melindungi oknum busuk itu. Solidaritas terhadap anggota korps bukan untuk perilaku menyimpang terhadap peraturan perundang-undangan. Jadi jangan cuma hukuman disiplin, tapi PECAT DENGAN TIDAK HORMAT !! (mimpi kali ye..!)