Selasa, 18 Mei 2010

Remunerasi PNS Wajib Dilanjutkan!

Kasus Gayus yang terungkap selain telah membukakan mata kita bahwa makelar kasus  benar-benar ada, juga mengingatkan pada kita bahwa reformasi birokrasi masih menyisakan persoalan. Reformasi birokrasi yang salah satu perwujudannya adalah pemberian remunerasi belum berhasil menyeterilkan birokrat dari perilaku yang koruptif.  Seorang Gayus, pegawai Dirjen Pajak golongan IIIa, dengan gaji sekitar Rp12 juta per bulan (setelah remunerasi) masih leluasa “bermain”  sehingga merugikan keuangan negara miliaran rupiah. Tentu saja Gayus tidak sendiri, disana ada atasan serta rekan-rekannya yang berkomplot. Ini yang kemudian membuat masyarakat bertanya-tanya, sudah efektifkah kebijakan pemberian remunerasi dalam meredam  korupsi? Dan benarkah pemberian rumenerasi sudah selayaknya dihentikan?

Tak bisa dipungkiri bahwa penghasilan pegawai yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong seorang pegawai melakukan korupsi. Apalagi bagi pegawai instansi yang banyak bersentuhan dengan kegiatan pelayanan ataupun penegakan hukum.  Di situ timbul kerawanan terjadinya moral hazard.  Ingat bahwa korupsi merupakan pertemuan antara niat dan kesempatan. Niat untuk korupsi dapat timbul dari gaji yang pas-pasan. Niat tersebut dapat direalisasikan jika terdapat kesempatan atau peluang untuk itu. Peluang itu biasanya tercipta karena kelemahan sistem pengendalian ataukelemahan dari peraturan yang ada ataupun dari sifat dari pekerjaannya sebagai contoh pekerjaan penegakan hukum dsb.

Oleh karena itu tidak salah jika pemerintah mencanangkan pemberian remunerasi sebagai salah satu aspek/bagian dari reformasi birokrasi yang tujuannya adalah mencegah terjadinya korupsi. Saat ini, Selain Departemen Keuangan renumerasi  telah diberikan kepada beberapa instansi pemerintah, seperti Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa keuangan. Rencananya remunerasi akan segera direalisasikan untuk 12 kementerian/lembaga lainnya yaitu Kemenko Perekonomian, Bappenas, BPKP, Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, TNI, Polri, Kejaksaan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN). Pada saatnya nanti remunerasi akan diterapkan di semua instansi secara nasional. Tentu tidak serta merta instansi tersebut mendapatkan remunerasi karena terdapat persyaratan tertentu seperti adanya job description yang jelas dan sistem pengukuran kinerja pegawai yang baik. Setelah instansi yang bersangkutan memenuhi persyaratan tersebut  remunerasi baru dapat diberikan. Ada proses evaluasinya untuk itu.

Sulit dibantah bahwa pemberian remunerasi dapat meningkatkan kinerja seseorang. Ketika ditanya dalam wawancara di Majalah Tempo Edisi 10-16 Mei 2010, apakah pegawai Kementrian Keuangan sekarang (setelah remunerasi) lebih jujur, Sri Mulyani Indrawati menjawab  “Sekarang idealisme itu muncul. Mereka lebih bersemangat. Ada yang berubah karena tobat. Ada juga karena sudah kenyang korupsi dimasa lalu. Ada yang kepingin baik karena Indonesia harus lebih baik. Apapun alasannya anak buah saya yang seperti itu sekarang banyak”.  Ini menunjukkan bahwa remunerasi telah berhasil merubah banyak cara berpikir pegawai dari mencari peluang untuk korupsi karena gaji kurang atau pas-pasan menjadi berorientasi ke pencapaian kinerja. Penulis yakin bahwa hal tersebut juga terjadi di instansi lain yang sudah menerapkan remunerasi, seperti Mahkamah Agung maupun BPK RI.

Memang agar reformasi birokrasi dapat mencegah korupsi, pemberian remunerasi perlu dibarengi dengan perbaikan aspek lainnya dalam reformasi birokrasi seperti rekruitmen, sistem kerja, penempatan staf, monitoring dan juga punishment bagi yang masih indispiner.  Reformasi menyangkut semua aspek ini akan cukup efektif mencegah perilaku korupsi.  Jadi remunerasi harus tetap dilanjutkan. Jangan karena kasus Gayus, seluruh sistem yang dihukum !!

Jumat, 14 Mei 2010

Bagaimana Nasib Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan Selanjutnya?

Hiruk pikuk politisasi persoalan Bank Century membuahkan “terpentalnya”  Sri Mulyani Indrawati, seorang yang dinobatkan sebagai wanita berpengaruh ke-23 versi majalah Forbes tahun 2008, dari kursi Menteri Keuangan. Cara ini dianggap merupakan “deal politik” yang dapat memperbaiki hubungan eksekutif dan legislatif, tepatnya diantara partai koalisi, setelah proses panjang pertikaian diantara keduanya dalam persoalan Bank Century, meskipun permasalahan Bank Century belum dapat dikatakan telah selesai.

Namun terlepas dari itu semua, mundurnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan untuk menempati jabatan sebagai salah satu direktur pelaksanan Bank Dunia, menimbulkan kebanggaan tersendiri karena belum tentu dalam satu generasi ada orang Indonesia yang menduduki posisi tersebut. Sri Mulyani Indrawati menjadi salah satu  perempuan Indonesia yang kiprahnya diakui luas di dunia internasional. Kinerjanya, reputasinya dan kemampuannya patut diacungi jempol.

Saat menduduki jabatan Menteri Keuangan gebrakannya mereformasi Departemen Keuangan berhasil membuat ciut “tikus-tikus” penggangsir uang negara. Sudah dianggap hal yang biasa dan lumrah jika terdapat pejabat dan petugas pajak,  bea cukai , dan beberapa direktorat dibawah Departemen Keuangan, mempunyai harta melimpah. Sering tidak masuk akal jumlah kekayaan mereka jika dibandingkan dengan gaji tiap bulannya. Ini menunjukkan betapa akutnya “tikus-tikus” tersebut merasuki birokrasi di departemen tersebut. Dan reformasi yang digulirkan Sri Mulyani Indrawati menjadikan ruang gerak “tikus-tikus” ini menjadi semakin sempit. Memang  belum steril benar, karena ternyata masih ada “Gayus dan kawan-kawannya” yang masih bisa survive, namun secara umum sudah sangat berubah, dan jauh lebih baik.

Nah, pertanyaannya apakah kondisi yang berangsur baik tersebut akan menjadi semakin baik atau akan kembali ke kondisi semula sebelum reformasi birokrasi digulirkan. Tentu saja ini kembali ke “will” dari pemerintah. Jika pemerintah ingin agar perekonomian bebas dari ekonomi biaya tinggi, kondusif bagi investor untuk berinvestasi, dan birokrasi yang profesional,  tentunya pemerintah akan memilih Menteri Keuangan yang baru dengan orang yang berkompetensi dan berintegritas tinggi serta mempunyai leadership yang baik. Untuk itu pemerintah harus mencarinya di kalangan profesional dan atau akademisi. Jika pemerintah menginginkan sebaliknya, silahkan pemerintah mengambil dari kalangan politikus.