Minggu, 07 Desember 2008

Penjualan Mobil Dinas Operasional yang "Ngawur"

Pada suatu hari seorang (sebut Mr.X) yang bekerja sebagai pegawai negeri pada suatu pemerintah daerah, dengan bangga menceritakan “keberuntungannya” dapat membeli mobil dinas operasional kantornya. Bayangkan sebuah mobil Toyota Kijang KF 42 tahun 1995, yang harga pasarnya pada waktu itu sekitar Rp33,5 juta dibelinya dengan harga Cuma Rp900an ribu saja. Kok bisa ya? Padahal mobilnya masih relatif bagus lho..

Karena “kebetulan” unit kerja Mr.X di Bagian Perlengkapan dan menjadi anggota tim penjualan kendaraan dinas, dia dapat menjelaskan ketika ditanya bagaimana rumusan penentuan harganya, yaitu “harga jual = % uji fisik x (20% atau 40%) sesuai umur kendaraan x harga pasar yang berlaku. Lho... kok bisa?!.

Lalu aturan yang sebenarnya bagaimana sih?

Harus Lelang

Menurut Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Permendagri No.7 tahun 2007, kendaraan dinas yang dapat dijual adalah kendaraan perorangan dinas dan kendaraan dinas operasional.

Kendaraan Perorangan Dinas adalah Kendaraan Perorangan Dinas yang dipergunakan pejabat negara seperti Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta yang sudah dipergunakan selama 5 (lima) tahun atau lebih. Kendaraan dinas perorangan ini dapat dijual kepada pejabat negara yang menggunakan kendaraan tersebut, dengan penentuan harga sesuai ketentuan yaitu (a) kendaraan yang berumur 5 sampai dengan 7 tahun, harga jualnya 40% dari harga umum/pasaran yang berlaku; (b) kendaraan yang telah berumur 8 tahun atau lebih, harga jualnya 20% dari harga umum/pasaran yang berlaku. Selain itu ditentukan bahwa semua pengeluaran untuk perbaikan kendaraan yang akan dibeli, yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum adanya persetujuan penjualan, menjadi tanggungan pejabat pembeli dan harus dibayar secara tunai sebelum dilakukan pembelian tersebut.

Sedang, Kendaraan Dinas Operasional adalah kendaraan operasional kantor selain yang digunakan oleh pejabat negara. Ketentuan umur penggunaan kendaraan operasional yang akan dijual ditetapkan Kepala Daerah masing-masing dan pelaksanaan penjualannya melalui pelelangan umum atau lelang terbatas yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.

Merugikan keuangan negara/daerah

Dengan demikian, pada kasus diatas penjualan kendaraan dinas tersebut diatas menyimpang dari ketentuan. Pertama, penjualannya tidak melalui mekanisme lelang. Kedua penetapan harga jual kendaraan dinas menghasilkan harga yang jauh dibawah nilai wajarnya yaitu: Harga jual = % uji fisik x (20% atau 40%) sesuai umur kendaraan x harga pasar yang berlaku. Penambahan “% uji fisik” menjadikan jumlah persentase yang dipakai sebagai pengali harga pasar yang berlaku semakin kecil sehingga menghasilkan harga jual yang semakin kecil pula. Dengan demikian menguntungkan pembeli tetapi merugikan keuangan negara/daerah.

Jika mobil dinas yang dijual jumlahnya puluhan, berapa kerugian daerah yang dialami pemda yang “ngawur” itu ya?!..

 

Jumat, 14 November 2008

Lahan Baru Bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) (2)

Penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK meliputi dua hal yaitu penggunaan pemeriksa ditetapkan oleh BPK dan penggunaan pemeriksa ditetapkan oleh pihak selain BPK apabila diatur dalam ketentuan undang-undang, sebagai contoh penetapan KAP oleh Rapat Umum Pemegang Saham untuk BUMN yang berbentuk PT.

Jenis pemeriksaan yang dilaksanakan oleh pemeriksa dan/atau tenaga lain diluar BPK yang penggunaannya ditetapkan oleh BPK terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Sedangkan jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh pihak lain selain BPK adalah pemeriksaan keuangan.

Persyaratan

Untuk dapat melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara, pemeriksa dan/tenaga ahli harus memenuhi persyaratan tertentu yaitu (a) bagi pemeriksa dari lingkungan aparat pengawas intern pemerintah, harus memperoleh ijin atau persetujuan tertulis dari pimpinan instansi yang bersangkutan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh BPK; (b) bagi akuntan publik, harus bekerja pada KAP yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan terdaftar di BPK; (c) bagi tenaga ahli, harus memiliki keahlian dan persyaratan yang ditentukan oleh BPK.

Hak dan Kewajiban

Pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara berkewajiban untuk melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan Standar Pemeriksaan; mematuhi kode etik; dan mematuhi perundang-undangan yang menjadi dasar penugasannya.

Selain itu, pemeriksa dan/atau tenaga ahli yang penggunaannya (penugasannya) ditetapkan oleh BPK wajib menyampaikan seluruh hasil pemeriksaannya kepada BPK untuk direviu dan sepenuhnya menjadi hak milik BPK. Sedang akuntan publik yang ditunjuk berdasarkan ketentuan undang-undang wajib menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada BPK untuk dievaluasi dan dipublikasikan.

Bagaimana dengan hak-haknya? Pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara berhak memperoleh imbalan dan/atau penghargaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Imbalan tersebut dapat dibebankan pada anggaran belanja BPK dan/atau entitas yang diperiksa. Sedang penghargaannya dapat diberikan oleh BPK dan/atau presiden atas usul BPK yang ditetapkan dengan Keputusan BPK.

Menggusur auditor BPK?

Tentu saja jawabannya tidak samasekali. Kontrol penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli sepenuhnya ada ditangan BPK, kecuali untuk penunjukkan pemeriksa dan/atau tenaga ahli berdasarkan ketentuan undang-undang. Penentuan penggunaan pemeriksa diluar BPK tersebut dilakukan setelah BPK memperhitungkan jumlah auditor BPK sendiri dalam memeriksa keuangan negara. Setelah itu kekurangan tenaga pemeriksa yang ada dipenuhi dari luar BPK.

Selain itu untuk pemeriksaan pada BUMN, BPK akan menentukan terlebih dahulu BUMN yang akan diperiksa oleh BPK dengan memperhatikan ketentuan undang-undang, setelah itu BUMN diluar daftar yang akan diperiksa oleh BPK, akan diperiksa oleh KAP.

Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru diharapkan dengan penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli diluar BPK, maka akan terjadi sinergi sehingga hasil dan cakupan pemeriksaan keuangan negara akan menjadi lebih optimal dan tata kelola keuangan negara yang bersih, transparan dan akuntabel akan segera terwujud.

 

Senin, 10 November 2008

Lahan Baru Bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) (1)

Mulai sekarang KAP barangkali boleh merasa lega, lahan bisnisnya bertambah. Kalau sebelumnya KAP lebih banyak memeriksa laporan keuangan entitas bisnis, sebentar lagi sudah dapat memeriksa laporan keuangan entitas pemerintah. Hal ini dimungkinkan karena baru-baru ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan Peraturan BPK No.1 tahun 2008 tanggal 6 Maret 2008 tentang Penggunaan Pemeriksa Dan/Atau Tenaga Ahli Dari Luar Badan Pemeriksa Keuangan Daerah. Kemudian disusul dengan dua surat keputusan yaitu Keputusan BPK RI No.10/K/I-XIII.2/7/2008 tentang Persyaratan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang Melakukan Pemeriksaan Keuangan Negara, dan Keputusan BPK RI No.11/K/I-XIII.2/7/2008 tentang Petunjuk Teknis Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Pemeriksaan Akuntan Publik atas Laporan Keuangan.

Sosialisasi ketiga peraturan tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 3 dan 5 November 2008, bertempat di Gedung Pusdiklat BPK RI di Kalibata, Jakara dengan dihadiri oleh pejabat pemda, BUMN/BUMD, KAP serta pejabat dilingkungan BPK RI.

Latar Belakang

Jumlah objek pemeriksaan (obrik) atau entitas yang diperiksa oleh BPK memang cukup banyak dibanding jumlah auditor yang tersedia. Sejak otonomi daerah dicanangkan, jumlah pemerintah daerah bertambah menjadi 33 propinsi dan 434 Kabupaten/Kota. Belum lagi kalau ditambah dengan BUMN dan BUMD yang merupakan aset yang pengelolaannya dipisahkan dari aset yang langsung dikelola pemerintah.

Dengan jumlah obrik yang demikian itu wajar jika dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK menggunakan KAP yang bekerja untuk dan atas nama BPK.

Adapun dasar hukum penggunaan KAP dalam pelaksanaan tugas BPK adalah pasal 9 ayat (3) UU No.15 tahun 2004, dan pasal 9 ayat (1) huruf g UU No.15 tahun 2004, yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pemeriksaan BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK.

...bersambung

Selasa, 04 November 2008

Lagi-lagi Kejaksaan Tercoreng

Belum lama kasus jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) selesai proses pengadilannya, dengan vonis 20 tahun untuk UTG dan 5 tahun untuk Arthalyta, muncul berita yang mencoreng nama Kejaksaan dari Kab Boalemo,  Gorontalo. Berita tersebut berupa rekaman percakapan telepon antara Kajari Tilamuta, Ratmadi Saptondo, SH (RS)dengan salah satu staff Dinas Pekerjaan Umum (PU). Dalam rekaman percakapan yang telah diperdengarkan berulang-ulang di beberapa station TV Swasta tersebut, terdengar suara RS lagi marah-marah karena tidak mendapatkan "jatah" sesuai dengan yang diinginkannya. Bukan hanya itu, RS juga sempat mengatakan hal-hal yang menyinggung institusi Kepolisian.

Apa yang telah ditunjukkan oleh RS tersebut dengan meminta uang dengan cara menakut-nakuti (memeras), merupakan suatu praktek yang selama ini disinyalir ada namun sulit untuk dibuktikan. Ini seperti (maaf) bau kentut yang tidak kelihatan tetapi bau busuknya menusuk hidung, dan sulit untuk membuktikan siapa yang kurang ajar mengeluarkan gas busuk diantara keramaian banyak orang. Parahnya, praktek semacam itu di Kejaksaan, seperti yang telah dipercaya banyak orang (termasuk saya), bak fenomena gunung es. Yang tidak kelihatan atau tepatnya belum terungkap, jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Jaksa yang berintegritas tinggi sudah menjadi minoritas dan barang langka.

Entah sudah separah apa ketidakadilan yang telah ditimbulkan oleh ulah jaksa-jaksa busuk, tidak ada seorangpun yang dapat mengukur, karena hal itu menyangkut hati dan nurani. Rasa ketidakadilan yang tertindas karena proses penuntutan yang substandard, akibat jaksa sudah "terkena rupiah"  sehingga keputusan hakim di pengadilanpun tidak didasarkan bukti yang maksimal, tidak bisa diukur secara kuantitatif. Yang pasti adalah keadilan sudah teraniaya.

Pertanyaan selanjutnya adalah mau diapakan oknum-oknum seperti itu? Kalau mau jujur sih menurut saya musnahkan..atau  basmi saja oknum-oknum busuk itu. Kejaksaan tidak perlu melindungi oknum busuk itu. Solidaritas terhadap anggota korps bukan untuk perilaku menyimpang terhadap peraturan perundang-undangan. Jadi jangan cuma hukuman disiplin, tapi PECAT DENGAN TIDAK HORMAT !! (mimpi kali ye..!)

Minggu, 12 Oktober 2008

Minimnya Mental Sense of Crisis

Dunia lagi heboh  terancam kena  efek domino "gelombang tsunami" krisis keuangan global dengan "episentrum" kredit macet bidang properti di America Serikat. Tiap negara buru-buru membuat strategi untuk mengantisipasi datangnya efek domino itu, agar jangan sampai meluluh lantakan perekonomian negaranya. Di Amerika serikat, tempat pusat "gempa krisis keuangan" itu berasal, tidak kurang dari US$700 miliar telah disiapkan untuk meredam efek krisis keuangan pada perekonomian. Dana talangan tersebut akan disuntikan kepada perusahaan-perusahaan yang mengalami permasalahan sehubungan dengan kemacetan kredit propertinya.

Tapi ironisnya, ditengah-tengah situasi yang demikian, terdengar kabar para bos AIG (American International Group Inc), (kompas tanggal 10 Oktober 2008) salah satu perusahaan besar penerima dana talangan,  berpesta pora selang satu hari setelah menerima 85 miliar dollar AS, di suatu tempat  St. Regis, tempat peristirahatan di selatan Los Angeles, California. Mereka menghabiskan dana 440.000 dollar AS atau sekitar Rp4,23 miliar untuk pesta, spa, dan menjajal lapangan golf. Luar biasa! (ngawurnya !!)

Karuan saja Kongres AS marah-marah, lha.. wong.. dana talangan itu kan uang rakyat. Apalagi penyuntikan dana ke AIG akibat dari salah urus perusahaan oleh para eksekutif disitu. Ulah yang dilakukan para eksekutif itu merupakan bentuk dari gaya hura-hura dalam pengelolaan perusahaan.

Sejujurnya, ulah yang lakukan para eksekutif AIG ini juga banyak dipraktekan di tempat lain termasuk di Indonesia. Parahnya, tidak terbatas pada institusi perusahaan saja tetapi juga pada institusi-institusi pemerintahan.

Perilaku hura-hura yang acap kali ditunjukkan sebagian besar para pimpinan BUMN negeri kita tidak beda jauh dengan yang dilakukan para petinggi AIG. Gaji besar, main golf, plesiran ke luar negeri, nginap dihotel mewah, sementara perusahaannya berjalan terseok-seok, merugi melulu. Coba cek dari sekitar 400-an BUMN yang kita punya, berapa yang memperoleh laba dan memberikan kontribusi pada penerimaan negara? Paling-paling tidak lebih dari 10%. Sampai-sampai ada pemeo "BUMN itu yang makmur Karyawannya (Direksi terutama), bukan Perusahaannya".

Kalangan pemerintahan juga tidak jauh beda. Otonomi daerah yang telah berjalan ini, selain melahirkan pemimpin yang berjiwa kenegaraan, juga menghasilkan "efek sampingan" yaitu kepala daerah-kepala daerah yang berperilaku bak raja kecil. Gaya pengelolaan keuangan daerah yang sering nabrak-nabrak aturan; perilaku bak sinterklas bagi-bagi uang daerah melalui bantuan sosial tanpa prosedur sesuai ketentuan (tujuannya untuk cari muka kepada rakyat); terima upeti dari pihak ketiga yang dapat proyek atau ijin usaha; mengangkat keluarga besarnya di jabatan-jabatan strategis pemerintahan; itu semua merupakan ciri-ciri kepala daerah yang merasa jadi "raja kecil".  Sementara itu rakyatnya banyak yang masih hidup dibawah garis kemiskinan.

Eksekutif perusahaan (Swasta & BUMN), kepala daerah serta para birokrat yang berperilaku hura-hura dalam pengelolaan keuangan yang menjadi wewenangnya sehingga menimbulkan kerugian negara/daerah sudah semestinya mendapatkan bagiannya yang setimpal di hotel "prodeo". Untuk itu harapan ada pada lembaga  peradilan, BPK maupun KPK. Bagi mereka pemberantas korupsi, aku pekikkan "Maju Terus! Ganyang Koruptor!!"

Kamis, 09 Oktober 2008

Nonton Laskar Pelangi

Penasaran karena "iklan" yang gencar sejak pembuatan  sampai  film Laskar Pelangi ramai digelar di seluruh Bioskop di Indonesia, aku ajak isteri dan dua anakku, Dhito (9th) dan Maria (3th) nonton film itu. Diluar dugaanku, baru masuk pintu utama sudah terlihat jubelan orang-orang memenuhi ruang tunggu Bioskop 21,  Duta Mall, Banjarmasin, dan sampai di depan loket tambah terkejut karena disitu tertulis "Tiket Laksar Pelangi Hari Ini Habis". Busyet!

Tambah penasaran, besoknya kami datang dua jam lebih awal dari jam pertunjukan yang kami pilih. Betul juga, tiket sudah hampir habis untuk jam pertunjukan itu dan kami kebagian di deretan nomor dua dari depan. Ya sudah gak apa-apa, dari pada gak kebagian tiket.

Selama pertunjukan, gelak tawa penonton mewarnai suasana bioskop namun sesekali hening terhanyut suasana haru, apa lagi saat adegan Lintang, murid dengan otak cemerlang dari keluarga nelayan tidak mampu, berpamitan pada guru dan teman-temannya untuk tidak bersekolah lagi karena harus memikul beban menghidupi keluarganya sebab Ayahnya meninggal saat mencari ikan dilaut. Duh!

Ada sesuatu yang lain dari filim Laskar Pelangi dibanding film anak-anak lainnya. Ada unsur hiburan, demikian juga unsur pendidikannya. Meski kita tahu masih banyak anak-anak terlantar yang tidak terjangkau oleh sistem pendidikan nasional kita karena berbagai hal, kita dibuatnya terhenyak bahwa anak-anak dengan kondisi seperti itu ada dan mesti mendapat perhatian. Seperti sebuah paragraf yang anak kalimatnya diberi stabilo sehingga lebih jelas terbaca dan mesti diperhatikan. Film Laskar Pelangi adalah stabilo itu!.