Minggu, 12 Oktober 2008

Minimnya Mental Sense of Crisis

Dunia lagi heboh  terancam kena  efek domino "gelombang tsunami" krisis keuangan global dengan "episentrum" kredit macet bidang properti di America Serikat. Tiap negara buru-buru membuat strategi untuk mengantisipasi datangnya efek domino itu, agar jangan sampai meluluh lantakan perekonomian negaranya. Di Amerika serikat, tempat pusat "gempa krisis keuangan" itu berasal, tidak kurang dari US$700 miliar telah disiapkan untuk meredam efek krisis keuangan pada perekonomian. Dana talangan tersebut akan disuntikan kepada perusahaan-perusahaan yang mengalami permasalahan sehubungan dengan kemacetan kredit propertinya.

Tapi ironisnya, ditengah-tengah situasi yang demikian, terdengar kabar para bos AIG (American International Group Inc), (kompas tanggal 10 Oktober 2008) salah satu perusahaan besar penerima dana talangan,  berpesta pora selang satu hari setelah menerima 85 miliar dollar AS, di suatu tempat  St. Regis, tempat peristirahatan di selatan Los Angeles, California. Mereka menghabiskan dana 440.000 dollar AS atau sekitar Rp4,23 miliar untuk pesta, spa, dan menjajal lapangan golf. Luar biasa! (ngawurnya !!)

Karuan saja Kongres AS marah-marah, lha.. wong.. dana talangan itu kan uang rakyat. Apalagi penyuntikan dana ke AIG akibat dari salah urus perusahaan oleh para eksekutif disitu. Ulah yang dilakukan para eksekutif itu merupakan bentuk dari gaya hura-hura dalam pengelolaan perusahaan.

Sejujurnya, ulah yang lakukan para eksekutif AIG ini juga banyak dipraktekan di tempat lain termasuk di Indonesia. Parahnya, tidak terbatas pada institusi perusahaan saja tetapi juga pada institusi-institusi pemerintahan.

Perilaku hura-hura yang acap kali ditunjukkan sebagian besar para pimpinan BUMN negeri kita tidak beda jauh dengan yang dilakukan para petinggi AIG. Gaji besar, main golf, plesiran ke luar negeri, nginap dihotel mewah, sementara perusahaannya berjalan terseok-seok, merugi melulu. Coba cek dari sekitar 400-an BUMN yang kita punya, berapa yang memperoleh laba dan memberikan kontribusi pada penerimaan negara? Paling-paling tidak lebih dari 10%. Sampai-sampai ada pemeo "BUMN itu yang makmur Karyawannya (Direksi terutama), bukan Perusahaannya".

Kalangan pemerintahan juga tidak jauh beda. Otonomi daerah yang telah berjalan ini, selain melahirkan pemimpin yang berjiwa kenegaraan, juga menghasilkan "efek sampingan" yaitu kepala daerah-kepala daerah yang berperilaku bak raja kecil. Gaya pengelolaan keuangan daerah yang sering nabrak-nabrak aturan; perilaku bak sinterklas bagi-bagi uang daerah melalui bantuan sosial tanpa prosedur sesuai ketentuan (tujuannya untuk cari muka kepada rakyat); terima upeti dari pihak ketiga yang dapat proyek atau ijin usaha; mengangkat keluarga besarnya di jabatan-jabatan strategis pemerintahan; itu semua merupakan ciri-ciri kepala daerah yang merasa jadi "raja kecil".  Sementara itu rakyatnya banyak yang masih hidup dibawah garis kemiskinan.

Eksekutif perusahaan (Swasta & BUMN), kepala daerah serta para birokrat yang berperilaku hura-hura dalam pengelolaan keuangan yang menjadi wewenangnya sehingga menimbulkan kerugian negara/daerah sudah semestinya mendapatkan bagiannya yang setimpal di hotel "prodeo". Untuk itu harapan ada pada lembaga  peradilan, BPK maupun KPK. Bagi mereka pemberantas korupsi, aku pekikkan "Maju Terus! Ganyang Koruptor!!"

0 komentar: