Selasa, 18 Mei 2010
Remunerasi PNS Wajib Dilanjutkan!
Label: reformasi birokrasi
Diposting oleh Aryo Seto Bomantari di 09.14 0 komentar
Jumat, 14 Mei 2010
Bagaimana Nasib Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan Selanjutnya?
Label: reformasi birokrasi
Diposting oleh Aryo Seto Bomantari di 21.38 0 komentar
Sabtu, 31 Januari 2009
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dari Transparency International Indonesia
Berikut ini saya tampilkan Siaran Pers Transparency International Indonesia mengenai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia yang dirilis pada Rabu, 21 Januari 2009 sebagai tambahan informasi bagi para pembaca blog saya:
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia
Dalam usaha memerangi korupsi, dibutuhkan suatu strategi nasional yang didukung oleh data dan informasi yang cukup dapat diandalkan, sehingga penerapan langkah-langkah pencegahan ataupun penindakan dapat diambil secara terukur dan tepat sasaran. Survei pengukuran korupsi seperti yang dilaksanakan Transparency International (TI) Indonesia adalah salah satu cara untuk mendapatkan referensi data tersebut.
Survei Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang dilakukan pada September sampai dengan Desember 2008, bertujuan untuk mengukur tingkat korupsi pemerintah daerah berdasarkan persepsi pelaku bisnis setempat. Survei ini juga mengukur tingkat kecenderungan terjadinya suap di 15 institusi publik di Indonesia, yang ditampilkan dalam Indeks Suap. Total sampel dari survei ini adalah 3841 responden, yang berasal dari pelaku bisnis (2371 responden), tokoh masyarakat (396 responden), dan pejabat publik (1074).
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, seperti pada tahun 2004 dan 2006, merupakan hasil analisa data dari responden pelaku bisnis, mengenai persepsi mereka tentang lazim atau tidak lazimnya pejabat pemerintah daerahnya melakukan tindakan korupsi, dan bagaimana usaha pemda dalam memberantas korupsi. Sementara itu, Indeks Suap menggambarkan tingkat kecenderungan terjadinya suap di 15 institusi publik di Indonesia, berdasarkan pengalaman kontak antara pelaku bisnis dengan institusi terkait. Indeks Suap juga memberikan rata-rata jumlah uang yang dipakai dalam setiap transaksi.
Yogyakarta Kota Terbersih, Kupang Terkorup
Dari 50 kota yang disurvei dalam IPK Indonesia 2008, Yogyakarta mendapatkan skor tertinggi yaitu 6,43. Nilai tersebut dapat dibaca bahwa pelaku bisnis di Yogyakarta menilai pemerintah daerah cukup bersih, dan cukup serius dalam usahanya memberantas korupsi. Interpretasi ini dapat menggambarkan hal yang sama di kota-kota yang berada di urutan teratas kota dengan skor tertinggi, seperti Palangkaraya (6,1), Banda Aceh (5,87), Jambi (5,57), dan Mataram (5,41).Terpilihnya Yogyakarta sebagai kota terbersih dimungkinkan mengingat sejak 2006 dibentuk Dinas Perizinan yang merupakan pengembangan dari Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Belum lama ini, Pemerintah Kota Yogyakarta bahkan mendapat penghargaan Citra Pelayanan Prima 2008. Hal itu terkait dengan keberhasilannya dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Begitu juga kota-kota lainnya yang terbersih. Palangkaraya pernah mendapat penghargaan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Terbaik pada 18 Desember 2007 lalu.
Sementara itu, Kupang mendapatkan skor terendah (2,97), disusul Tegal (3,32), Manokwari (3,39), Kendari (3,43), dan Purwokerto (3,54). Ini menunjukkan bahwa di kota-kota ini, pelaku bisnis melihat bahwa korupsi masih sangat lazim terjadi di jajaran pemerintah daerah, dan pemda juga tidak serius dalam usaha mereka memberantas korupsi. Skor terendah dicapai Kupang, karena pada tahun-tahun sebelumnya di kota ini banyak terjadi kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan anggota DPRD setempat.
Secara umum, dapat dlihat bahwa sebagian besar kota di Indonesia pemerintah daerahnya dipersepsikan korup, melihat bahwa hanya Yogyakarta dan Palangkaraya kota yang mendapatkan skor diatas 6. Namun skor IPK Indonesia memang masih lebih baik dibanding Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi) untuk Indonesia, yang pada tahun 2008 skornya adalah 2,6.
Polisi lembaga yang paling rentan suap
Dalam Indeks Suap, pengukuran dilakukan dengan menghitung rasio kontak antara pelaku bisnis dan institusi publik yang terjadi suap, dibanding total kontak yang terjadi. Indeks Suap polisi mencapai 48%, yang berarti dari total interaksi antara responden pelaku bisnis dengan institusi tersebut (n=1218), hampir setengahnya terjadi suap. Hasil ini masih relevan dengan hasil Global Corruption Barometer (GCB) yang dikeluarkan Transparency International pada tahun akhir 2007 lalu. Menyusul polisi, bea cukai (41%), imigrasi (34%), DLLAJR (33%) dan pemda (33%) adalah lembaga-lembaga yang berada pada urutan paling tinggi kecenderungan terjadi suap.
Peran Survei Pengukuran Korupsi
IPK Indonesia bisa digunakan menjadi masukan berarti bagi pemerintah daerah yang disurvei untuk introspeksi dan berbenah diri (terutama untuk kota-kota yang skornya rendah). Demikian juga Indeks Suap, yang dapat menjadi acuan bagi institusi yang dinilai rentan terhadap praktik suap untuk memperbaiki performanya.
Jakarta, 21 Januari 2009
Transparency International Indonesia
Rezki Sri Wibowo
Deputi Sekretaris Jenderal
Label: Korupsi, Transparency International Indonesia
Diposting oleh Aryo Seto Bomantari di 23.36 0 komentar
Minggu, 07 Desember 2008
Penjualan Mobil Dinas Operasional yang "Ngawur"
Pada suatu hari seorang (sebut Mr.X) yang bekerja sebagai pegawai negeri pada suatu pemerintah daerah, dengan bangga menceritakan “keberuntungannya” dapat membeli mobil dinas operasional kantornya. Bayangkan sebuah mobil Toyota Kijang KF 42 tahun 1995, yang harga pasarnya pada waktu itu sekitar Rp33,5 juta dibelinya dengan harga Cuma Rp900an ribu saja. Kok bisa ya? Padahal mobilnya masih relatif bagus lho..
Karena “kebetulan” unit kerja Mr.X di Bagian Perlengkapan dan menjadi anggota tim penjualan kendaraan dinas, dia dapat menjelaskan ketika ditanya bagaimana rumusan penentuan harganya, yaitu “harga jual = % uji fisik x (20% atau 40%) sesuai umur kendaraan x harga pasar yang berlaku. Lho... kok bisa?!.
Lalu aturan yang sebenarnya bagaimana sih?
Harus Lelang
Menurut Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Permendagri No.7 tahun 2007, kendaraan dinas yang dapat dijual adalah kendaraan perorangan dinas dan kendaraan dinas operasional.
Kendaraan Perorangan Dinas adalah Kendaraan Perorangan Dinas yang dipergunakan pejabat negara seperti Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta yang sudah dipergunakan selama 5 (lima) tahun atau lebih. Kendaraan dinas perorangan ini dapat dijual kepada pejabat negara yang menggunakan kendaraan tersebut, dengan penentuan harga sesuai ketentuan yaitu (a) kendaraan yang berumur 5 sampai dengan 7 tahun, harga jualnya 40% dari harga umum/pasaran yang berlaku; (b) kendaraan yang telah berumur 8 tahun atau lebih, harga jualnya 20% dari harga umum/pasaran yang berlaku. Selain itu ditentukan bahwa semua pengeluaran untuk perbaikan kendaraan yang akan dibeli, yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum adanya persetujuan penjualan, menjadi tanggungan pejabat pembeli dan harus dibayar secara tunai sebelum dilakukan pembelian tersebut.
Sedang, Kendaraan Dinas Operasional adalah kendaraan operasional kantor selain yang digunakan oleh pejabat negara. Ketentuan umur penggunaan kendaraan operasional yang akan dijual ditetapkan Kepala Daerah masing-masing dan pelaksanaan penjualannya melalui pelelangan umum atau lelang terbatas yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Merugikan keuangan negara/daerah
Dengan demikian, pada kasus diatas penjualan kendaraan dinas tersebut diatas menyimpang dari ketentuan. Pertama, penjualannya tidak melalui mekanisme lelang. Kedua penetapan harga jual kendaraan dinas menghasilkan harga yang jauh dibawah nilai wajarnya yaitu: Harga jual = % uji fisik x (20% atau 40%) sesuai umur kendaraan x harga pasar yang berlaku. Penambahan “% uji fisik” menjadikan jumlah persentase yang dipakai sebagai pengali harga pasar yang berlaku semakin kecil sehingga menghasilkan harga jual yang semakin kecil pula. Dengan demikian menguntungkan pembeli tetapi merugikan keuangan negara/daerah.
Jika mobil dinas yang dijual jumlahnya puluhan, berapa kerugian daerah yang dialami pemda yang “ngawur” itu ya?!..
Diposting oleh Aryo Seto Bomantari di 04.32 1 komentar
Jumat, 14 November 2008
Lahan Baru Bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) (2)
Penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK meliputi dua hal yaitu penggunaan pemeriksa ditetapkan oleh BPK dan penggunaan pemeriksa ditetapkan oleh pihak selain BPK apabila diatur dalam ketentuan undang-undang, sebagai contoh penetapan KAP oleh Rapat Umum Pemegang Saham untuk BUMN yang berbentuk PT.
Jenis pemeriksaan yang dilaksanakan oleh pemeriksa dan/atau tenaga lain diluar BPK yang penggunaannya ditetapkan oleh BPK terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Sedangkan jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh pihak lain selain BPK adalah pemeriksaan keuangan.
Persyaratan
Untuk dapat melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara, pemeriksa dan/tenaga ahli harus memenuhi persyaratan tertentu yaitu (a) bagi pemeriksa dari lingkungan aparat pengawas intern pemerintah, harus memperoleh ijin atau persetujuan tertulis dari pimpinan instansi yang bersangkutan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh BPK; (b) bagi akuntan publik, harus bekerja pada KAP yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan terdaftar di BPK; (c) bagi tenaga ahli, harus memiliki keahlian dan persyaratan yang ditentukan oleh BPK.
Hak dan Kewajiban
Pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara berkewajiban untuk melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan Standar Pemeriksaan; mematuhi kode etik; dan mematuhi perundang-undangan yang menjadi dasar penugasannya.
Selain itu, pemeriksa dan/atau tenaga ahli yang penggunaannya (penugasannya) ditetapkan oleh BPK wajib menyampaikan seluruh hasil pemeriksaannya kepada BPK untuk direviu dan sepenuhnya menjadi hak milik BPK. Sedang akuntan publik yang ditunjuk berdasarkan ketentuan undang-undang wajib menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada BPK untuk dievaluasi dan dipublikasikan.
Bagaimana dengan hak-haknya? Pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara berhak memperoleh imbalan dan/atau penghargaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Imbalan tersebut dapat dibebankan pada anggaran belanja BPK dan/atau entitas yang diperiksa. Sedang penghargaannya dapat diberikan oleh BPK dan/atau presiden atas usul BPK yang ditetapkan dengan Keputusan BPK.
Menggusur auditor BPK?
Tentu saja jawabannya tidak samasekali. Kontrol penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli sepenuhnya ada ditangan BPK, kecuali untuk penunjukkan pemeriksa dan/atau tenaga ahli berdasarkan ketentuan undang-undang. Penentuan penggunaan pemeriksa diluar BPK tersebut dilakukan setelah BPK memperhitungkan jumlah auditor BPK sendiri dalam memeriksa keuangan negara. Setelah itu kekurangan tenaga pemeriksa yang ada dipenuhi dari luar BPK.
Selain itu untuk pemeriksaan pada BUMN, BPK akan menentukan terlebih dahulu BUMN yang akan diperiksa oleh BPK dengan memperhatikan ketentuan undang-undang, setelah itu BUMN diluar daftar yang akan diperiksa oleh BPK, akan diperiksa oleh KAP.
Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru diharapkan dengan penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli diluar BPK, maka akan terjadi sinergi sehingga hasil dan cakupan pemeriksaan keuangan negara akan menjadi lebih optimal dan tata kelola keuangan negara yang bersih, transparan dan akuntabel akan segera terwujud.
Diposting oleh Aryo Seto Bomantari di 20.57 0 komentar
Senin, 10 November 2008
Lahan Baru Bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) (1)
Mulai sekarang KAP barangkali boleh merasa lega, lahan bisnisnya bertambah. Kalau sebelumnya KAP lebih banyak memeriksa laporan keuangan entitas bisnis, sebentar lagi sudah dapat memeriksa laporan keuangan entitas pemerintah. Hal ini dimungkinkan karena baru-baru ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan Peraturan BPK No.1 tahun 2008 tanggal 6 Maret 2008 tentang Penggunaan Pemeriksa Dan/Atau Tenaga Ahli Dari Luar Badan Pemeriksa Keuangan Daerah. Kemudian disusul dengan dua surat keputusan yaitu Keputusan BPK RI No.10/K/I-XIII.2/7/2008 tentang Persyaratan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang Melakukan Pemeriksaan Keuangan Negara, dan Keputusan BPK RI No.11/K/I-XIII.2/7/2008 tentang Petunjuk Teknis Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Pemeriksaan Akuntan Publik atas Laporan Keuangan.
Sosialisasi ketiga peraturan tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 3 dan 5 November 2008, bertempat di Gedung Pusdiklat BPK RI di Kalibata, Jakara dengan dihadiri oleh pejabat pemda, BUMN/BUMD, KAP serta pejabat dilingkungan BPK RI.
Latar Belakang
Jumlah objek pemeriksaan (obrik) atau entitas yang diperiksa oleh BPK memang cukup banyak dibanding jumlah auditor yang tersedia. Sejak otonomi daerah dicanangkan, jumlah pemerintah daerah bertambah menjadi 33 propinsi dan 434 Kabupaten/Kota. Belum lagi kalau ditambah dengan BUMN dan BUMD yang merupakan aset yang pengelolaannya dipisahkan dari aset yang langsung dikelola pemerintah.
Dengan jumlah obrik yang demikian itu wajar jika dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK menggunakan KAP yang bekerja untuk dan atas nama BPK.
Adapun dasar hukum penggunaan KAP dalam pelaksanaan tugas BPK adalah pasal 9 ayat (3) UU No.15 tahun 2004, dan pasal 9 ayat (1) huruf g UU No.15 tahun 2004, yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pemeriksaan BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK.
...bersambung
Diposting oleh Aryo Seto Bomantari di 19.44 1 komentar
Selasa, 04 November 2008
Lagi-lagi Kejaksaan Tercoreng
Belum lama kasus jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) selesai proses pengadilannya, dengan vonis 20 tahun untuk UTG dan 5 tahun untuk Arthalyta, muncul berita yang mencoreng nama Kejaksaan dari Kab Boalemo, Gorontalo. Berita tersebut berupa rekaman percakapan telepon antara Kajari Tilamuta, Ratmadi Saptondo, SH (RS)dengan salah satu staff Dinas Pekerjaan Umum (PU). Dalam rekaman percakapan yang telah diperdengarkan berulang-ulang di beberapa station TV Swasta tersebut, terdengar suara RS lagi marah-marah karena tidak mendapatkan "jatah" sesuai dengan yang diinginkannya. Bukan hanya itu, RS juga sempat mengatakan hal-hal yang menyinggung institusi Kepolisian.
Apa yang telah ditunjukkan oleh RS tersebut dengan meminta uang dengan cara menakut-nakuti (memeras), merupakan suatu praktek yang selama ini disinyalir ada namun sulit untuk dibuktikan. Ini seperti (maaf) bau kentut yang tidak kelihatan tetapi bau busuknya menusuk hidung, dan sulit untuk membuktikan siapa yang kurang ajar mengeluarkan gas busuk diantara keramaian banyak orang. Parahnya, praktek semacam itu di Kejaksaan, seperti yang telah dipercaya banyak orang (termasuk saya), bak fenomena gunung es. Yang tidak kelihatan atau tepatnya belum terungkap, jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Jaksa yang berintegritas tinggi sudah menjadi minoritas dan barang langka.
Entah sudah separah apa ketidakadilan yang telah ditimbulkan oleh ulah jaksa-jaksa busuk, tidak ada seorangpun yang dapat mengukur, karena hal itu menyangkut hati dan nurani. Rasa ketidakadilan yang tertindas karena proses penuntutan yang substandard, akibat jaksa sudah "terkena rupiah" sehingga keputusan hakim di pengadilanpun tidak didasarkan bukti yang maksimal, tidak bisa diukur secara kuantitatif. Yang pasti adalah keadilan sudah teraniaya.
Pertanyaan selanjutnya adalah mau diapakan oknum-oknum seperti itu? Kalau mau jujur sih menurut saya musnahkan..atau basmi saja oknum-oknum busuk itu. Kejaksaan tidak perlu melindungi oknum busuk itu. Solidaritas terhadap anggota korps bukan untuk perilaku menyimpang terhadap peraturan perundang-undangan. Jadi jangan cuma hukuman disiplin, tapi PECAT DENGAN TIDAK HORMAT !! (mimpi kali ye..!)
Diposting oleh Aryo Seto Bomantari di 21.39 1 komentar