Sabtu, 31 Januari 2009

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dari Transparency International Indonesia

Berikut ini saya tampilkan Siaran Pers Transparency International Indonesia mengenai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia yang dirilis pada Rabu, 21 Januari 2009 sebagai tambahan informasi bagi para pembaca blog saya: 

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia

Dalam usaha memerangi korupsi, dibutuhkan suatu strategi nasional yang didukung oleh data dan informasi yang cukup dapat diandalkan, sehingga penerapan langkah-langkah pencegahan ataupun penindakan dapat diambil secara terukur dan tepat sasaran. Survei pengukuran korupsi seperti yang dilaksanakan Transparency International (TI) Indonesia adalah salah satu cara untuk mendapatkan referensi data tersebut. 


Survei Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang dilakukan pada September sampai dengan Desember 2008, bertujuan untuk mengukur tingkat korupsi pemerintah daerah berdasarkan persepsi pelaku bisnis setempat. Survei ini juga mengukur tingkat kecenderungan terjadinya suap di 15 institusi publik di Indonesia, yang ditampilkan dalam Indeks Suap. Total sampel dari survei ini adalah 3841 responden, yang berasal dari pelaku bisnis (2371 responden), tokoh masyarakat (396 responden), dan pejabat publik (1074).


Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, seperti pada tahun 2004 dan 2006, merupakan hasil analisa data dari responden pelaku bisnis, mengenai persepsi mereka tentang lazim atau tidak lazimnya pejabat pemerintah daerahnya melakukan tindakan korupsi, dan bagaimana usaha pemda dalam memberantas korupsi. Sementara itu, Indeks Suap menggambarkan tingkat kecenderungan terjadinya suap di 15 institusi publik di Indonesia, berdasarkan pengalaman kontak antara pelaku bisnis dengan institusi terkait. Indeks Suap juga memberikan rata-rata jumlah uang yang dipakai dalam setiap transaksi.

Yogyakarta Kota Terbersih, Kupang Terkorup

Dari 50 kota yang disurvei dalam IPK Indonesia 2008, Yogyakarta mendapatkan skor tertinggi yaitu 6,43. Nilai tersebut dapat dibaca bahwa pelaku bisnis di Yogyakarta menilai pemerintah daerah cukup bersih, dan cukup serius dalam usahanya memberantas korupsi. Interpretasi ini dapat menggambarkan hal yang sama di kota-kota yang berada di urutan teratas kota dengan skor tertinggi, seperti Palangkaraya (6,1), Banda Aceh (5,87), Jambi (5,57), dan Mataram (5,41).

Terpilihnya Yogyakarta sebagai kota terbersih dimungkinkan mengingat sejak 2006 dibentuk Dinas Perizinan yang merupakan pengembangan dari Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Belum lama ini, Pemerintah Kota Yogyakarta bahkan mendapat penghargaan Citra Pelayanan Prima 2008. Hal itu terkait dengan keberhasilannya dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Begitu juga kota-kota lainnya yang terbersih. Palangkaraya pernah mendapat penghargaan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Terbaik pada 18 Desember 2007 lalu.


Sementara itu, Kupang mendapatkan skor terendah (2,97), disusul Tegal (3,32), Manokwari (3,39), Kendari (3,43), dan Purwokerto (3,54). Ini menunjukkan bahwa di kota-kota ini, pelaku bisnis melihat bahwa korupsi masih sangat lazim terjadi di jajaran pemerintah daerah, dan pemda juga tidak serius dalam usaha mereka memberantas korupsi. Skor terendah dicapai Kupang, karena pada tahun-tahun sebelumnya di kota ini banyak terjadi kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan anggota DPRD setempat. 


Secara umum, dapat dlihat bahwa sebagian besar kota di Indonesia pemerintah daerahnya dipersepsikan korup, melihat bahwa hanya Yogyakarta dan Palangkaraya kota yang mendapatkan skor diatas 6. Namun skor IPK Indonesia memang masih lebih baik dibanding Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi) untuk Indonesia, yang pada tahun 2008 skornya adalah 2,6. 


Polisi lembaga yang paling rentan suap

Dalam Indeks Suap, pengukuran dilakukan dengan menghitung rasio kontak antara pelaku bisnis dan institusi publik yang terjadi suap, dibanding total kontak yang terjadi. Indeks Suap polisi mencapai 48%, yang berarti dari total interaksi antara responden pelaku bisnis dengan institusi tersebut (n=1218), hampir setengahnya terjadi suap. Hasil ini masih relevan dengan hasil Global Corruption Barometer (GCB) yang dikeluarkan Transparency International pada tahun akhir 2007 lalu. Menyusul polisi, bea cukai (41%), imigrasi (34%), DLLAJR (33%) dan pemda (33%) adalah lembaga-lembaga yang berada pada urutan paling tinggi kecenderungan terjadi suap.


Peran Survei Pengukuran Korupsi 
IPK Indonesia bisa digunakan menjadi masukan berarti bagi pemerintah daerah yang disurvei untuk introspeksi dan berbenah diri (terutama untuk kota-kota yang skornya rendah). Demikian juga Indeks Suap, yang dapat menjadi acuan bagi institusi yang dinilai rentan terhadap praktik suap untuk memperbaiki performanya. 

Jakarta, 21 Januari 2009
Transparency International Indonesia

Rezki Sri Wibowo
Deputi Sekretaris Jenderal

0 komentar: